6.1 KEKHASAN & KEISTIMEWAAN SISTEM KHILAFAH
Berdasarkan ulasan-ulasan sebelumnya, tampak bahwa sistem pemerintahan Islam (khilafah) memiliki kekhasan dan keistimewaan yang tidak dijumpai dalam seluruh sistem pemerintahan lainnya yang dikenal di seluruh dunia.
Kekhasan dan keistimewaan sistem pemerintahan ini tampak pada
(1) asas ideologis yang mendasarinya,
(2) pemikiran, pemahaman, maqayis (standar/tolok ukur), serta hukum-hukum yang digunakan dalam mengatur kehidupan,
(3) konstitusi dan undang-undang yang dilegislasi untuk diimplementasikan, serta
(4) bentuk pemerintahan khas yang mencerminkan Daulah Islamiyyah. [1a]
1. Asas Ideologis: Aqidah Islam
Asas fundamental sistem khilafah adalah aqidah Islam (tauhid), yang menjadi fondasi bagi seluruh sistem yang dibangun di atasnya: sistem politik, ekonomi, hukum, sosial, dll. Semua sistem terpancar dari aqidah Islam. [2]
2. Pemikiran, Pemahaman, Maqayis, dan Hukum-Hukum yang Digunakan
Aqidah Islam mengajarkan bahwa manusia adalah hamba Allah subhanahu wa ta'ala. Mereka diciptakan untuk mengabdi kepada Allah dalam setiap sendi kehidupan yang telah diatur oleh-Nya. [3] Seluruh manusia akan kembali kepada Allah untuk mempertanggungjawabkan apa-apa yang dilakukan di dunia. Sebagian akan masuk surga, sebagian ke neraka, dan sebagian lain ke neraka terlebih dahulu kemudian masuk surga. [4]
Negara dalam Islam adalah sarana mewujudkan ketaatan kepada Allah; ber-tahkim (memutus perkara) dengan hukum-Nya di antara umat manusia (baik muslim maupun non-muslim) [5], serta mengemban dakwah dan jihad untuk meninggikan syi'ar Islam di seluruh penjuru dunia. [6] Dengan demikian, peran manusia sebagai khalifah pemakmur dan pengelola bumi (khalifah fi al-ardh) akan terwujud dengan sebaik-baiknya. [7]
Maqayis (standar/tolok ukur) dalam sistem khilafah bukanlah asas manfaat atau suara mayoritas, melainkan hukum syara’, yaitu status halal-haram, pahala-dosa, serta hukum taklifi (wajib, sunnah, mubah, makruh, haram). Aqidah Islam mengajarkan bahwa tidak ada hukum yang lebih adil dan lebih baik daripada hukum syara’. Hukum ini bersifat universal dan tetap hingga Hari Kiamat, karena berasal dari Dzat Yang Maha Adil dan Maha Mengetahui. [8]
Hukum-hukum syara’ inilah yang dijadikan sebagai hukum positif dalam negara khilafah. Hukum ini berlaku dalam segenap pengaturan kehidupan bernegara: politik, ekonomi, hukum, sosial, dll.
3. Konstitusi dan UU yang Dilegislasi
Konstitusi dan undang-undang yang dilegislasi dalam sistem khilafah bersumber dari sumber-sumber hukum syara’ (mashadir al-hukm asy-syar’i), yaitu al-Qur’an, as-Sunah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas Syar'iyyah. Khalifah tidak memiliki otoritas untuk membuat hukum berdasarkan hawa nafsunya. Ia tidak berhak mengharamkan dan menghalalkan sesuatu tanpa berlandaskan wahyu Allah. Ia hanya berhak melakukan adopsi (tabanni).
Hukum-hukum ini diadopsi oleh khalifah baik melalui penggalian (istinbath)-nya sendiri maupun melalui ijtihad para ulama mujtahid yang telah ada.
4. Bentuk Pemerintahan yang Mencerminkan Daulah Islam
Khilafah adalah negara kesatuan dengan satu kepala negara, yaitu khalifah.
Khalifah dipilih dan dibai’at oleh umat/wakil-wakil mereka untuk mengatur dan memutuskan perkara di antara mereka berlandaskan hukum yang diwahyukan Allah subhanahu wa ta'ala.
Syarat-syarat legal (in’iqad) pengangkatan khalifah ada 7 (tujuh): (a) muslim, (b) laki-laki, (c) baligh, (d) berakal, (e) adil, (f) merdeka, dan (g) mampu. Ketujuh syarat ini berfungsi sebagai limitasi. Apabila salah satu saja tidak terpenuhi, maka akad pengangkatannya tidak sah. [1b]
Adapun syarat-syarat keutamaan (afdhaliyyah) yang diutamakan ada pada diri seorang khalifah, di antaranya adalah ia seorang mujtahid, berasal dari Quraisy, dsb. [1c]
Khalifah berwenang mengangkat pejabat-pejabat di bawahnya untuk menjalankan urusan kenegaraan, baik terkait pemerintahan maupun administrasi. [9]
Referensi:
[1a] HT, Ajhizah Daulah al-Khilâfah, Beirut: Dar al-Ummah, 2005, cet. ke-1, hlm. 12.
[1b] Idem., hlm. 22-25.
[1c] Idem., hlm. 25.
[2] Lihat: An-Nabhani, Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Isma’il bin Yusuf, Muqaddimah ad-Dustûr au al-Asbâb al-Mûjibah Lahu, Beirut: Dar al-Ummah, 2009, cet. ke-2 (ed. mu’tamadah), juz 1/hlm. 5.
[3] Lihat: QS adz-Dzariyat (51): 56.
[4] Lihat: QS al-Bayyinah (98): 6-8; HR Muslim, no. 184-187 (Maktabah Syamilah: https://shamela.ws/book/1727/404#p1).
[5] Lihat: QS al-Ma’idah (5): 48-49.
[6] Lihat: QS Ali Imran (3): 110; al-Fath (48): 28; ash-shaff (61): 9; & at-Taubah (9): 33.
[7] Lihat: QS al-Baqarah (2): 30.
[8] Lihat: QS al-Ma’idah (5): 50.
[9] Lihat Bab “V. STRUKTUR KHILAFAH”.