2.1 Hukum Khilafah Menurut Para Ulama
Para ulama telah menerangkan status hukum keberadaan khilafah bagi umat Islam, di antaranya sebagai berikut:
1. Imam al-Khatthabi (w. 388 H):
ولذلك رُئيت الصحابة يوم مات رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يقضوا شيئا من أمر دفنه وتجهيزه حتى أحكموا أمر البيعة ونصبوا أبا بكر إماما وخليفة وكانوا يسمونه خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم طول عمره إذ كان الذي فعلوه من ذلك صادرا عن رأيه ومضافا إليه وذلك من أدل الدليل على وجوب الخلافة وأنه لا بد للناس من إمام يقوم بأمر الناس ويمضي فيهم أحكام الله ويردعهم عن الشر ويمنعهم من التظالم والتفاسد
"Oleh karena itu tampak (melalui riwayat) para sahabat saat hari wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam belum menunaikan apapun tentang urusan pemakaman beliau dan persiapannya, hingga mereka memastikan urusan bai'at, serta mengangkat Abu Bakar sebagai imam dan khalifah. Mereka menyebutnya dengan 'Khalifatu Rasulillah' sepanjang hayatnya, karena yang mereka lakukan itu lahir dari pendapatnya dan disandarkan kepadanya. Hal itu merupakan dalil yang paling jelas tentang wajibnya khilâfah, dan bahwa umat manusia ini harus ada imam yang mengurus urusan mereka, serta menjalankan hukum-hukum Allah di tengah mereka, melindungi mereka dari keburukan, dan menghalangi mereka dari kezaliman dan kerusakan." [1]
2. Imam Ibnu Hazm al-Andalusi (w. 456 H):
اتفق جميع أهل السنة وجميع المرجئة وجميع الشيعة وجميع الخوارج على وجوب الإمامة وأن الأمة واجب عليها الانقياد لإمام عادل يقيم فيهم أحكام الله ويسوسهم بأحكام الشريعة التي أتى بها رسول الله صلى الله عليه وسلم
"Telah sepakat semua ahlus sunnah, semua murjiah, semua syi'ah, semua khawarij, atas kewajiban adanya imâmah, dan sesungguhnya umat wajib mengikatkan dirinya dengan pemimpin yang adil yang dapat menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka dan membimbing mereka dengan hukum-hukum syariah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam." [2]
3. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H):
وأجمعوا على أنه يجب نصب خليفة، وعلى أن وجوبه بالشرع لا بالعقل
"Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah, dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syari'ah, bukan berdasarkan akal." [3]
4. Syaikh Abdurrahman al-Jazairi (w. 1360 H):
اتفق الأئمة رحمهم الله تعالى على: أن الإمامة فرض، وأنه لا بد للمسليمن من إمام يقيم شعائر الدين وينصف المظلومين من الظالمين
"Para imam mazhab (yang empat) -rahimahumullahu ta’ala- telah bersepakat: bahwa imâmah (khilâfah) adalah wajib, dan bahwa umat Islam harus memiliki seorang imam yang menjalankan syi’ar-syi’ar agama dan menegakkan keadilan, serta membela orang-orang yang dizalimi dari para orang zalim." [4]
5. Syaikh Sulaiman Rasyid (w. 1396 H):
"Kaum muslim (ijma' mu'tabar) telah bersepakat bahwa hukum mendirikan khilafah itu adalah fardhu kifayah atas semua kaum muslim." [5]
6. Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Umar ad-Dumaiji:
ومن الأدلة على وجوب الإمامة القاعدة الشرعية القائلة بأن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب، وقد علم أن الله سبحانه وتعالى أمر بأمور ليس في مقدور آحاد الناس القيام بها، ومن هذه الأمور إقامة الحدود وتجهيز الجيوش المجاهدة لنشر الإسلام، وإعلاء كلمة الله، وجباية الزكاة وصرفها في مصارفها المحددة، وسد الثغور وحفظ حوزة المسلمين، ونشر العدل ودفع الظلم، وقطع المنازعات الواقعة بين العباد .. إلى غير ذلك من الواجبات التي لا يستطيع أفراد الناس القيام بها، وإنما لا بد من إيجاد السلطة وقوة لها حق الطاعة على الأفراد، تقوم بتنفيذ هذه الواجبات، وهذه السلطة هي الإمامة
"Dan di antara dalil-dalil tentang wajibnya imâmah (khilâfah) adalah kaidah syar'iyyah yang menyatakan bahwa ‘Mâ lâ yatimmul wâjibu illâ bihi fahuwa wâjib’ (Segala kewajiban yang tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya). Dan telah diketahui bahwa Allah subhanahu wa ta'ala memerintahkan beberapa perkara yang tidak dapat dilaksanakan oleh seorang individu secara personal, di antaranya adalah menegakkan hudûd, mempersiapkan pasukan yang berjihad untuk menyebarkan Islam, meninggikan kalimat Allah, memungut zakat dan menyalurkannya sesuai dengan yang telah ditentukan, menjaga perbatasan dan melindungi wilayah umat Islam, menegakkan keadilan, menghindarkan dari kezhaliman, menyelesaikan perselisihan antara hamba-hamba Allah, dan lain sebagainya yang merupakan kewajiban-kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan oleh individu saja, melainkan harus ada otoritas (sulthoh) yang memiliki kekuatan untuk ditaati oleh individu-individu, yang melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut, dan otoritas (sulthoh) ini tiada lain adalah imâmah (khilâfah)." [6]
Referensi:
[1] Al-Khatthabi, Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad al-Basti, Ma’âlim as-Sunan Syarh Sunan al-Imâm Abî Dawud, Aleppo: Al-Mathba’ah al-’Ilmiyyah, 1351 H/1932 M, cet. ke-1, juz 3/hlm. 5-6. (Maktabah Syamilah: https://shamela.ws/book/1442/660#p1)
[2] Ibnu Hazm, Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id, Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal, Kairo: Maktabah al-Khanaji, juz 4/hlm. 72. (Maktabah Syamilah: https://shamela.ws/book/6521/519#p3)
[3] Al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, Maktabah Salafiyyah, t.t., juz 13/hlm. 208. (Maktabah Syamilah: https://shamela.ws/book/1673/7639)
[4] Al-Jazairi, Abdurrahman bin Muhammad, 2003, Kitâb Al-Fiqh 'alâ al-Madzâhib al-Arba'ah, cet. II, Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, juz 5/hlm. 366. (Maktabah Syamilah: https://shamela.ws/book/9849)
[5] Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2002, cet. ke-35, hlm. 495.
[6] Ad-Dumaiji, Abdullah bin Umar bin Sulaiman, Al-Imâmah al-‘Uzhmâ ‘Inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, Iskandariyah: Mu’assasah at-Thabah li al-I’lam, 1434 H/2013 M, cet. ke-3, hlm. 49.