1.1 Khilafah Istilah Syari'ah
Khilafah adalah isim syar'i (istilah syari'ah). Artinya, istilah khilafah bukanlah istilah buatan manusia, karena istilah ini pertama kali digunakan dalam nash syari'ah (yang berasal dari wahyu Allah) dengan konotasi yang khas, berbeda dengan makna yang dikenal oleh orang Arab sebelumnya. Hal ini sebagaimana kata salat, haji, zakat, dan sebagainya. [1]
Nash syari'ah yang dimaksud di antaranya adalah nash berikut:
«تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ»
"Ada era kenabian di antara kalian, dengan izin Allah akan tetap ada, kemudian ia akan diangkat oleh Allah, jika Allah berkehendak untuk mengangkatnya. Setelah itu, akan ada era khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. …" (HR Ahmad) [2]
Terdapat riwayat-riwayat hadits lain yang maqbul (diterima) yang menggunakan kata khilafah, dengan konotasi syar'i sebagaimana hadits di atas. Misalnya dalam Musnad al-Bazzar, hadits no. 1282. Musnad Ahmad, hadits no. 2091 dan 20913. Sunan Abu Dawud, hadits no. 4028. Sunan at-Tirmidzi, hadits no. 2152. Al-Mustadrak, hadits no. 4438.
Digunakan pula istilah khalifah sebagai pemangku dalam khilafah, misalnya dalam nash berikut:
«كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَ بَعْدِيْ، وَسَيَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُوْنَ»
"Bani Israil dahulu telah diurusi urusan mereka oleh para nabi. Ketika seorang nabi (Bani Israil) wafat, maka akan digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun setelahku. Akan ada para khalifah, sehingga jumlah mereka banyak." (Muttafaqun ‘alaih) [3]
Sebagaimana kata khilafah yang terdapat dalam banyak hadits maqbul, terdapat pula riwayat-riwayat hadits lain yang maqbul yang menggunakan kata khalifah (jamaknya khulafa’). Misalnya dalam Shahih Bukhari, hadits no. 6682. Shahih Muslim, hadits no. 3393, 3394, 3395, 3396, 3397 dan 3398. Sunan Abu Dawud, hadits no. 3731 dan 3732. Musnad Ahmad, hadits no. 3394, 19901, 19907, 19943, 19963, 19987, 19997, 20019, 20032, 20041, 20054, 20103 dan 20137. Sunan at-Tirmidzi, hadits no. 2149 dan 4194.
Istilah khilafah dan khalifah yang ada dalam banyak nash syari'ah di atas memiliki konotasi syar'i. Dengan demikian, keduanya merupakan istilah syari'ah yang juga memerlukan pemahaman tentang nash syari'ah terkait perincian-perinciannya.
Referensi:
[1] Lihat: Al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Riyadh: Mu'assasah an-Nur, 1387 H, juz 1/hlm. 27-28. (Maktabah Syamilah: https://shamela.ws/book/10801/25#p6)
[2] Ibn Hanbal, Ahmad bin Muhammad, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, Beirut: Mu'assasah ar-Risalah, 1421 H/2001 M, cet. ke-1, juz 30/hlm. 355. (Maktabah Syamilah: https://shamela.ws/book/25794/14930#p2)
[3] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, dalam kitab Ahâdits al-Anbiyâ’, dengan nomor 3455, dan oleh Muslim, dalam kitab Al-Imârah, dengan nomor 1842.