5.2 Wazîr at-Tafwîdh (Pembantu Bidang Pemerintahan)


Wazir (jamaknya wuzara') at-tafwidh adalah para pembantu (mu'awinun) khalifah dalam bidang pemerintahan. Mereka diangkat oleh khalifah untuk membantunya dalam memikul tanggung jawab pemerintahan dan kekuasaan, dengan kewenangan yang luas dan umum. Khalifah mendelegasikan kepada mereka pengaturan berbagai urusan serta pelaksanaan tugas-tugas kekhilafahan, baik dalam urusan tertentu maupun urusan umum, menurut pendapat dan ijtihadnya sesuai dengan ketentuan syari'ah. [1a]

Dengan kewenangannya yang umum dan menyeluruh dalam tugas-tugas pemerintahan inilah, Imam al-Mawardi (w. 450 H) rahimahullah menyebutnya sebagai wazir at-tafwidh, karena ia mendapat "at-tafwidh" (pelimpahan wewenang) dari khalifah. [2]

Meski demikian, tetap ada batasan yang membedakannya dengan khalifah agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Batasannya adalah akad niyabah (perwakilan), yang mewakili khalifah untuk mengurusi urusan pemerintahan. Khalifah berhak mengangkat dan memberhentikannya. Khalifah juga berhak memintanya untuk mengurus suatu urusan dan memindahkannya pada urusan lain, atau menugaskannya untuk memonitor suatu wilayah dan menariknya kembali, semuanya tanpa memerlukan akad pengangkatan baru, karena sejak awal ia diangkat dengan wewenang kekuasaan dan pemerintahan yang bersifat umum untuk semua aktivitas yang ditugaskan, dalam rangka membantu khalifah. Ia pun diharuskan menyampaikan laporan kepada khalifah terkait tindakan-tindakan yang dilakukannya dalam tugas tersebut. [1b][3]

Dalil yang menjadi landasan struktur ini adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

«إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِالْأَمِيرِ خَيْرًا جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ صِدْقٍ، إِنْ نَسِيَ ذَكَّرَهُ، وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَهُ، وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهِ غَيْرَ ذَلِكَ جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ سُوءٍ، إِنْ نَسِيَ لَمْ يُذَكِّرْهُ، وَإِنْ ذَكَرَ لَمْ يُعِنْهُ»

"Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang amir (imam/khalifah), Allah menjadikan bagi dirinya pembantu (wazîr) yang jujur dan benar. Jika ia lupa, wazîr itu akan mengingatkannya, dan jika ia ingat, wazîr itu akan membantunya. Jika Allah menghendaki atas amir itu selain yang demikian, Allah menjadikan baginya wazîr yang jahat/buruk. Jika ia lupa, wazîr itu tidak mengingatkannya, dan jika ia ingat, wazîr itu tidak membantunya." (HR Abu Dawud, dinilai shahih oleh al-Albani). [4]

«مَا مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا لَهُ وَزِيرَانِ مِنْ أَهْلِ السَّمَاءِ وَوَزِيرَانِ مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ، فَأَمَّا وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ السَّمَاءِ فَجِبْرِيلُ وَمِيكَائِيلُ، وَأَمَّا وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ فَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ»

"Tidak ada seorang nabi pun kecuali dia memiliki dua wazir (pembantu) dari penghuni langit dan dua wazir dari penghuni bumi. Adapun wazir-wazirku dari penghuni langit adalah Jibril dan Mikail, dan adapun wazir-wazirku dari penghuni bumi adalah Abu Bakar dan Umar." (HR at-Tirmidzi, dinyatakan hasan gharib oleh at-Tirmidzi, dinilai dho'if oleh al-Albani) [5]

Al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1398 H) rahimahullah menjelaskan perihal kedua hadits tersebut,

ومعنى كلمة وزيراي هنا معاونان لي، لأن هذا هو معناها اللغوي، وأما كلمة وزير بالمعنى الذي يريده الناس اليوم فهو اصطلاح غربي، لم يعرفه المسلمون ويخالف نظام الحكم في اللإسلام

"Adapun makna kata 'wazîrâya' di sini adalah 'dua pembantuku', karena demikianlah maknanya secara bahasa (lughowi). Adapun kata 'wazir' dengan makna yang dimaksud oleh orang-orang pada zaman sekarang (yaitu 'menteri' dengan segala ketentuannya, peny.) itu merupakan istilah Barat, yang asing bagi umat Islam, serta bertentangan dengan sistem pemerintahan dalam Islam ..." [6]

Berdasarkan keterangan tersebut, tampak makna bahasa yaitu "pembantu" itulah yang dimaksudkan dengan kata "wazir" dalam kedua nash hadits di atas. Al-Qur'an juga telah menggunakan kata "wazir" dengan makna bahasa tersebut, yaitu mu'in (penolong) dan mu'awin (pembantu)(lihat: QS Thaha [20]: 29 & QS al-Furqon [25]: 35).

Oleh sebab itu, keberadaan wazir at-tafwidh sebagai pembantu khalifah dalam bidang pemerintahan dengan kewenangan umum dan menyeluruh ini menjadi jelas. Apabila jumlah wazir at-tafwidh lebih dari satu, mereka diangkat bukan untuk pembagian kewenangan dalam berbagai kementrian, melainkan masing-masing tetap diangkat dengan kewenangan yang bersifat umum sebagai pembantu khalifah, yang dapat ditugaskan ke seluruh penjuru negara. Khalifah kemudian dapat membagi tugas para wazir at-tafwidh secara teritorial agar satu sama lain tidak saling mengintervensi. [1b]

Dengan demikian, kedudukan para wazir (pembantu khalifah) dalam khilafah tidak sebagaimana kedudukan para wazir (menteri) dalam pengertian sistem politik demokrasi dan sistem pemerintahan parlementer maupun presidensial hari ini. Tidak dari sisi akad pengangkatan dengan batasan kewenangan kementrian, birokrasi kementrian, batasan anggaran kementrian, masa jabatan, perwakilan partai pendukung kekuasaan, dan lain sebagainya. Kedudukan wazir dalam khilafah adalah kedudukan yang khas, yang terpancar dari sunah nabawiyyah dan sunah khulafa' ar-rasyidin.


Referensi:

[1a] HT, Ajhizah Daulah al-Khilâfah, Beirut: Dar al-Ummah, 2005, cet. ke-1, hlm. 55.

[1b] Idem, hlm. 57.

[2] Al-Mawardi, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib, Adab al-Wazîr, Kairo: Maktabah al-Khonji, 1929 M/1348 H, cet. ke-1, hlm. 10.

[3] Zallum, Abdul Qadim, Nidzâm al-Hukm fi al-Islâm, 2002, cet. ke-6 (ed. mu’tamadah), hlm. 130.

[4] Abu Dawud, Sunan Abî Dâwud, muhaqqiq: Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid (w. 1392 H), Beirut: Al-Maktabah al-‘Asriyyah, no. hadits 2932, juz 3/hlm. 131. (Maktabah Syamilah: https://shamela.ws/book/1726/4044#p1)

[5] At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, muhaqqiq: Ibrahim Atwah Awwad, Kairo: Syirkah Maktabah wa Matba'ah Musthafa al-Babi al-Halabi, no. 3680, juz 5/hlm. 616. (Maktabah Syamilah: https://shamela.ws/book/1435/6087#p1)

[6] An-Nabhani, Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Isma’il bin Yusuf, Muqaddimah ad-Dustûr au al-Asbâb al-Mûjibah Lahu, Beirut: Dar al-Ummah, 2009, cet. ke-2 (ed. mu’tamadah), juz 1/hlm. 112.

results matching ""

    No results matching ""