5.10 Mashâlih an-Nâs (Kemaslahatan Umum)
Kemaslahatan umum adalah struktur administrasi pelaksana pemerintahan, yakni badan-badan pelaksana atas perkara-perkara yang wajib dilaksanakan di dalam sebuah pemerintahan guna memenuhi kepentingan-kepentingan masyarakat umum. [1]
Dalilnya adalah af'al (perbuatan) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mengatur negara, yang kemudian diikuti oleh khulafa' ar-rasyidin. Pada saat itu urusan administrasi telah diurus dengan sistematik oleh daulah Islamiyyah. Struktur terkait kemaslahatan umum ini diperlukan guna mempermudah pengaturan dalam melaksanakan seluruh kewajiban negara.
Dalam masalah pendidikan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan tebusan orang-orang kafir yang menjadi tawanan Perang Badar adalah dengan mengajari sepuluh orang anak-anak kaum muslim (membaca dan menulis). Ketetapan tersebut menggantikan harta tebusan yang termasuk ghanimah kaum muslimin. Dengan demikian, jaminan pendidikan merupakan salah satu kemaslahatan kaum muslimin yang harus diperhatikan oleh negara khilafah. [1a][2]
Dalam masalah pengobatan, pernah dihadiahkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seorang dokter. Beliau kemudian menetapkannya sebagai dokter bagi kaum muslim. Kenyataan bahwa hadiah datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, namun beliau tidak mengambil dan tidak memanfaatkannya untuk dirinya sendiri, tetapi dijadikan sebagai milik kaum muslimin. Hal itu merupakan dalil bahwa pengobatan (kesehatan) juga merupakan salah satu kemaslahatan kaum muslimin. [1a][2]
Dalam masalah pekerjaan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menunjuki seorang laki-laki agar membeli tali dan kapak, dan agar alat-alat itu digunakan untuk mencari kayu bakar, dan kayu bakar itu dijual kepada masyarakat; daripada harus meminta-minta kepada masyarakat, lalu sebagian mereka memberinya dan sebagian lain menolaknya. Dengan demikian, pemberian solusi atas masalah pekerjaan juga merupakan salah satu kemaslahatan bagi kaum muslimin. [1a][2]
Oleh karena itu, perlu adanya Departemen Pendidikan, Kesehatan, Pekerjaan, Perhubungan, Pertanian dan sebagainya. Semua ini kembali pada ijtihad dan kebijakan khalifah mengenai apa dan berapa jumlah struktur administrasi kemaslahatan umum yang dibutuhkan untuk dapat menunaikan segala kewajiban negara dan memenuhi kepentingan (maslahat) masyarakat umum. [1b]
Semua ini termasuk dari perkara-perkara administratif yang memudahkan kehidupan rakyat tanpa banyak problem dan kerumitan. Strategi dalam mengatur kepentingan masyarakat dilandasi dengan 3 hal, (1) kesederhanaan aturan, (2) kecepatan pelayanan, dan (3) profesionalitas orang yang mengurusinya. [1c]
Strategi ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
«إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ. فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ. وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ. وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شفرته. فليرح ذبيحته»
"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berlaku ihsan dalam segala sesuatu. Maka apabila kalian membunuh, lakukanlah dengan cara yang baik. Dan apabila kalian menyembelih, lakukanlah dengan cara yang baik. Hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya dan memberikan kenyamanan bagi hewan sembelihannya." (HR Muslim) [3]
Dari hadits tersebut, tampak betapa Islam sangat memperhatikan interaksi seorang muslim, bahkan saat melakukan pembunuhan terhadap musuh, serta ketika memperlakukan hewan yang hendak disembelih.
Apabila demikian, maka ihsan lebih diutamakan lagi tatkala dihadapkan kepada pemeliharaan urusan rakyat daulah Islamiyyah, baik dari kalangan kaum muslimin maupun kaum kafir dzimmi.
Keberadaan struktur negara yang berasas kepada seorang khalifah, serta pelimpahan kewenangan umum khalifah kepada wazir at-tafwidh yang telah dituntunkan oleh nash, memungkinkan seluruh urusan rakyat terpelihara secara ihsan: terhindar dari birokrasi panjang, rumit, dan saling tumpang tindih sebagaimana dalam berbagai sistem politik dan pemerintahan hari ini (lihat: sub-bab "5.1 Al-Khalîfah" dan "5.2 Wazîr at-Tafwîdh").
Referensi:
[1a] HT, Ajhizah Daulah al-Khilâfah, Beirut: Dar al-Ummah, 2005, cet. ke-1, hlm. 128.
[1b] Idem., hlm. 130.
[1c] Idem., hlm. 133.
[2] An-Nabhani, Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Isma’il bin Yusuf, Muqaddimah ad-Dustûr au al-Asbâb al-Mûjibah Lahu, Beirut: Dar al-Ummah, 2009, cet. ke-2 (ed. mu’tamadah), juz 1/hlm. 116.
[3] Muslim, Abu al-Husain, Shahîh Muslim, Kairo: Mathba'ah Isa al-Babi al-Halabi wa Syurakah, al-muhaqqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi (w. 1388 H), 1955, juz 3/hlm. 1548, no. hadits 1955. (Maktabah Syamilah: https://shamela.ws/book/1727/4989#p3)